Model Pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali (2003; 72-73)., ada dua cara dalam mendidik akhlak, yaitu; pertama, mujahadah dan membiasakan latihan dengan amal shaleh. Kedua, perbuatan itu dikerjakan dengan di ulang-ulang. Selain itu juga ditempuh dengan jalan pertama, memohon karunia Illahi dan sempumanya fitrah (kejadian), agar nafsu-syahwat dan amarah itu dijadikan lurus, patuh kepada akal dan agama. Lalu jadilah orang itu berilmu (a’lim) tanpa belajar, terdidik tanpa pendidikan, ilmu ini disebut juga dengan ladunniah. Kedua akhlak tersebut diusahakan dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu dengan membawa diri kepada perbuatan-perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut. Singkatnya, akhlak berubah dengan pendidikan latihan. (Al-Ghazali, 2000;601-602).
Itulah beberapa hal mendasar mengenai Pendidikan ahklak mulia, untuk mewujudkankannya diperlukan kesungguhan dan kerjasama semua pihak. Insya Allah dengan kerja keras dan bertawakkal kepada Allah, semua itu akan terwujud.
a. Konsep Pembentukan Karakter
Menurut Foerster (dalam Doni Koesoema), ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. Pertama; keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan. Kedua; koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga; otonomi.
Komisi Internasional Untuk Pendidikan Abad Dua Puluh Satu” dalam laporannya ke UNESCO, mengajukan rumusan tentang empat pilar pendidikan yaitu:
· Learning to live together: belajar untuk memahami dan menghargai orang lain, sejarah mereka dan nilai-nilai agamanya.
· Learning to know: penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu, termasuk di dalamnya learning to how
· Learning to do: belajar untuk mengaplikasi ilmu, bekerjasama dalam team, belajar memecahkan masalah dalam berbagai situasi.
· Learning to be: belajar untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab untuk mewujudkan tujuan bersama.
Keempat pilar pendidikan masa depan itu kemudian diterjemahkan ke dalam format sekolah yang diharapkan mampu membantu siswa-siswi mereka untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi kehidupan di masa depan, yaitu: kompetensi keagamaan, kompetensi akademik, kompetensi ekonomi, dan kompetensi sosial pribadi.
Berdasarkan perspektif agama (Islam), hakikat makna pendidikan adalah ikhtiar secara sadar dan sungguh-sungguh agar manusia mampu menjadi manusia sebagaimana dikehendaki Tuhan, yakni sebagai hamba Allah (abdullah) dan wakil Allah (khalifatullah) di muka bumi.
Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.
0 comments:
Posting Komentar